mitos perkawinan laki-laki sunda dengan perempuan jawa
Jum'at , 30 januari 2014
KESIMPULAN
BISA DIAMBIL KESIMPULAN DARI APA YANG UDAH GW CARI DI GOOGLE:
KENAPA LAKI-LAKI SUNDA NGGA BOLEH KAWIN SAMA PEREMPUAN JAWA.
KARENA EH KARENA:
tapi setelah dilihat diatas berarti masalah harga diri yang di jalanin.
tapi ngga tau degh takutnya ada semacam sumpah yang pernah disebutkan oleh sesorang yang mempunyai "ilmu yang tinggi"
"jika cowo sunda menikah dengan cewe jawa maka pernikahannya tidak langgeng"
yah yang pasti gw orang yang percaya gaib.
hal itu mungkin aja bisa terjadi.
semacam kutukan gitu hehehehe
tapi bisa diambil kesimpulan versi gw:
wuakakak kayak udah mau nikah aja gw padahal masih lama wuakakakak
tapi se enggaknya bisa buat jadi catetan kecil gw dimasa kelak.
KENAPA LAKI-LAKI SUNDA NGGA BOLEH KAWIN SAMA PEREMPUAN JAWA.
KARENA EH KARENA:
- PIHAK JAWA MERASA LEBIH TUA DARI PIHAK SUNDA PERNYATAAN INI DIAMBIL KARENA KERAJAAN JAWA LEBIH LAMA DARIPADA KERAJAAN SUNDA.
- PIHAK SUNDA MERASA HARGA DIRINYA DI LECEHKAN DAN DIHINA AKIBAT PERANG BUBAT YANG TERJADI.
tapi setelah dilihat diatas berarti masalah harga diri yang di jalanin.
tapi ngga tau degh takutnya ada semacam sumpah yang pernah disebutkan oleh sesorang yang mempunyai "ilmu yang tinggi"
"jika cowo sunda menikah dengan cewe jawa maka pernikahannya tidak langgeng"
yah yang pasti gw orang yang percaya gaib.
hal itu mungkin aja bisa terjadi.
semacam kutukan gitu hehehehe
tapi bisa diambil kesimpulan versi gw:
- berkomitmen dalam rumah tangga
- saling setia
- saling menghargai
- wanita memang di "bawah" pria
- taat sama suami
- suami menghormati istri
- istri menghormati suami
- saling sabar
- jangan mau kalah sama mitos
- saling pengertian
- komunikasi
- memahami sifat satu sama lain
- jangan berbicara dengan nada tinggi
- kalau marah boleh tapi dengan nada rendah
- saling mendorong kearah yang lebih baik dengan perbuatan jika ada yang "jatuh"
- jangan ada pihak ketiga walaupun itu teman curhat usahakan curhat dengan suami/istri walaupun sangat pahit terdengar
- jangan sampai masalah terdengar oleh mertua atau orangtua
- jujur
- masalah materi harus dibicarakan dengan baik
- ingat pengorbanan yang telah dilakukan di masa lalu
wuakakak kayak udah mau nikah aja gw padahal masih lama wuakakakak
tapi se enggaknya bisa buat jadi catetan kecil gw dimasa kelak.
mitos perkawinan cowo sunda dengan cewe jawa
Kadangkala,
kejadian-kejadian di masa lalu seringkali dijadikan sebuah pembenaran
untuk memelihara sentiment-sentimen rasial, meskipun sulit ditemukan
relevansinya saat ini. Salah satunya adalah Perang Bubat yang terjadi
sekitar 7 abad yang lalu (tepatnya tahun 1279 M). Peristiwa yang membawa
trauma yang mendalam bagi keluarga kerajaan Galuh, karena seluruh
anggota keluarga kerajaan, mulai dari Prabu Linggabuana dan permaisuri
Lara Linsing, serta putrinya yang cantik jelita (khas tanah
Parahiyangan) Dyah Pitaloka Citraresmi, terbantai di Palagan Bubat.
Peristiwa yang telah lama berlalu sebenarnya, tetapi melahirkan banyak
mitos seputar hubungan Sunda dan Jawa, sampai saat ini.
Banyak
pendapat yang sudah membantah bahwa peristiwa itu sudah tidak banyak
memberikan dampak pada hubungan Jawa dan Sunda dewasa ini. Tetapi
beberapa indikasi masih menunjukkan ketegangan hubungan ini, seperti
misalnya tiadanya nama-nama yang berbau Jawa (Majapahit) yang digunakan
sebagai nama jalan di tanah Parahiyangan/Pasundan (baru-baru ini ada
informasi bahwa di Cimahi ada Jl. Gadjah Mada), atau adanya mitos yang
melarang laki-laki/perempuan Sunda untuk menikah dengan orang Jawa.
Dalam suatu seminar di Universitas Padjajaran belum lama ini, yang
membahas novel Gajah Mada: Perang Bubat karangan Langit Kresna Hariadi,
ketegangan yang sama kembali muncul. Ini membuktikan bahwa ketegangan
itu masih belum dapat cair seutuhnya.
Jika
saja mau melihat lebih jauh sejarah ke belakang, dan kemudian diteliti
kembali untuk mencari persamaan-persamaan antara dua kebudayaan yang
sebenarnya masih saudara tersebut, semestinya Palagan Bubat tidak
menjadikan dua saudara bersitegang (untuk jangka waktu yang lama).
Sejarah
dimulai ketika pendiri kerajaan Galuh, Sang Wretikandayun (612 M)
memisahkan diri dari kerajaan Tarumanegara yang memang sudah lemah
dibawah pemerintahan Prabu Tarusbawa (yang selanjutnya mengganti nama
kerajaan Tarumanegara menjadi kerajaan Sunda yang berkedudukan di Pakuan
–Bogor sekarang). Sang
Wretikandayun memiliki tiga orang putra, salah satu diantaranya adalah
Amara alias Sang Mandiminyak. Sang Mandiminyak memiliki dua orang istri.
Dari istri pertama (Pohaci Rababu) memiliki putra bernama Sena
(Bratasenawa), sedang dari istri kedua (Dewi Parwati putri
Kartikayesinga penguasa Kalingga – Jawa Tengah) memiliki putri bernama
Sannaha. Oleh Ratu Sima (istri Kartikayesinga), Sena dan Sannaha, yang
masih saudara kandung tersebut, dikawinkan. Dari perkawinan keduanya
lahir Sanjaya yang kemudian terkenal sebagai pendiri wangsa Sanjaya yang
berkuasa di tanah Jawa (taraju Jawadwipa), yang selanjutnya menjadi
penguasa tunggal Bumi Mataram (Hindu). Sebelum menjadi penguasa Mataram,
Sanjaya juga menjadi raja di kerajaan Sunda Pakuan dan kerajaan Sunda
Galuh. Inilah hubungan kekerabatan (dekat) pertama antara tanah Pasundan
dan Jawa.
Bagaimana dengan Majapahit ?
Penguasa
Majapahit adalah wangsa Rajasa yang didirikan oleh Ken Arok (Awuku
Tumapel). Pendiri Wilwatikta adalah Rakian (Rakean=Rahadian=Raden)
Wijaya. Ibunda Raden Wijaya adalah Dyah Lembu Tal (Dyah Daramurti) dari
Tumapel dari suami keluarga kerajaan Sunda, Rahiyang Jayadarma. Bahkan
ketika Raden Wijaya menjadi Maharaja Majapahit yang bergelar Sri
Kertarajasa Jayawardhana dengan kekuasaan yang besar, masih sering
mengunjungi kakeknya, Prabu Guru Darmasiksa di Sunda Pakuan. Dalam
kunjungan tersebut, Prabu Guru Darmasiksa pernah memberikan nasehat
kepada Sanggramawijaya (gelar Raden Wijaya) : Hawya ta sira
kedo athawamerep ngalindih Bhumi Sunda mapan wus kinaliran ring ki sanak
ira dlaha yan ngku wus angemasi. Hetunya nagaramu wus agheng jaya
santosa wruh ngwang kottaman ri puyut katisayan mwang jayacatrumu, ngke
pinaka mahaprabhu. Ika hana ta daksina sakeng Hiyang Tunggal mwang
dumadi sarataya.
Ikang
sayogyanya rajya Jawa lawan rajya Sunda parasparo pasarpana atuntunan
tangan silih asih pantara ning padudulur. Yatanyan tan pratibandeng
nyakrawartti rajya sowangsowang. Yatanyan siddha hitasukha. Yan rajya
Sunda dukhantara, Wilwatikta sakopayanya maweh carana; mangkana juga
rajya Sunda ring Wilwatikta.
(Jangan
hendaknya engkau mengganggu, menyerang, dan merebut Bumi Sunda karena
telah diwariskan kepada saudaramu, bila kelak aku telah tiada. Sekalipun
negaramu telah menjadi besar dan jaya serta sentosa, aku maklum akan
keutamaan, keluarbiasaan, dan keperkasaanmu kelak sebagai raja besar.
Ini adalah anugerah dari Yang Maha Esa dan menjadi suratan-Nya.
Sudah
selayaknya kerajaan Jawa dengan kerajaan Sunda saling membantu, bekerja
sama dan saling mengasihi antara anggota keluarga. Karena itu janganlah
berselisih dalam memerintah kerajaan masing-masing. Bila demikian
akanmencapai keselamatan dan kebahagiaan yang sempurna. Bila kerajaan
Sunda mendapat kesusahan, Majapahit hendaknya berupaya sungguh-sungguh
memberikan bantuan; demikian pula halnya kerajaan Sunda kepada
Majapahit) (Danasasmita, 1983:23)
Terlihat
bahwa sebenarnya antara kerajaan Sunda dan Jawa (baca: Majapahit)
terjalin hubungan yang demikian erat, dari satu leluhur yang seharusnya
tercipta hubungan yang harmonis dan saling kerjasama antara keduanya.
Bukannya ketegangan dan permusuhan. Perkara perang Bubat adalah
persoalan politik, yang memang tidak seharusnya masuk lebih jauh dalam
ranah kebudayaan dan kemanusiaan secara umum. Semestinya Perang Bubat
dapat dilihat seperti kita melihat peristiwa-peristiwa politik yang
terjadi di negeri ini, meskipun mungkin menyakitkan tetapi tidak
seharusnya itu menghancurkan hubungan persaudaraan yang telah
berlangsung berabad-abad. Kalau kita mau jujur melihat
persamaan-persamaan yang ada pada dua kebudayaan tersebut, seperti
linguistik, seni, budaya, dan hasil-hasil peradaban antara dua
kebudayaan, mestinya hal tersebut dapat lebih saling mempererat hubungan
antar-keduanya.from
http://chintoenx.multiply.com/journal/item/3/Jawa_dan_Sunda_lagi
Comments
Post a Comment